KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mempelajari Mata kuliah
Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi khususnya yang membahas tentang
materi ’’SOPAN SANTUN”.
Harapan
saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kemajuan dan perkembangan pendidikan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perubahan akhlak pada anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan formal informal dan non-formal. Penerapan pendidikan akhlak pada anak sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar kualitas anak yang berakhlak mulia sebagai bekal khusus bagi dirinya, umumnya bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.
Betapa banyak faktor penyebab terjadinya kenakalan pada anak-anak yang dapat menyeret mereka pada dekadensi moral dan pendidikan yang buruk dalam masyarakat, dan kenyataan kehidupan yang pahit penuh dengan “kegilaan”, betapa banyak sumber kejahatan dan kerusakan yang menyeret mereka dari berbagai sudut dan tempat berpijak.
Oleh karena itu, jika para pendidik tidak dapat memikul tanggung jawab dan amanat yang diberikan pada mereka, dan pula tidak mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kelainan pada anak-anak serta upaya penanggulangannya maka akan terlihat suatu generasi yang bergelimang dosa dan penderitaan dalam masyarakat.
Kemajuan dan perkembangan pendidikan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perubahan akhlak pada anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan formal informal dan non-formal. Penerapan pendidikan akhlak pada anak sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar kualitas anak yang berakhlak mulia sebagai bekal khusus bagi dirinya, umumnya bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.
Betapa banyak faktor penyebab terjadinya kenakalan pada anak-anak yang dapat menyeret mereka pada dekadensi moral dan pendidikan yang buruk dalam masyarakat, dan kenyataan kehidupan yang pahit penuh dengan “kegilaan”, betapa banyak sumber kejahatan dan kerusakan yang menyeret mereka dari berbagai sudut dan tempat berpijak.
Oleh karena itu, jika para pendidik tidak dapat memikul tanggung jawab dan amanat yang diberikan pada mereka, dan pula tidak mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kelainan pada anak-anak serta upaya penanggulangannya maka akan terlihat suatu generasi yang bergelimang dosa dan penderitaan dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dalam tugas makalah ini dirumuskan dalam hal-hal sebagai berikut:
a) Bagaimana bentuk bimbingan Guru dan orang tua dalam membina akhlak terhadap anak sekolah di lingkungan sekolah
b) Sejauh mana pentingnya pembinaan akhlak terhadap anak sekolah di lingkungan C.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dalam tugas makalah ini dirumuskan dalam hal-hal sebagai berikut:
a) Bagaimana bentuk bimbingan Guru dan orang tua dalam membina akhlak terhadap anak sekolah di lingkungan sekolah
b) Sejauh mana pentingnya pembinaan akhlak terhadap anak sekolah di lingkungan C.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1) Untuk mengetahui bagaimana Guru dan orang tua dalam membimbing akhlak, pada sekolah di lingkungan sekolah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1) Untuk mengetahui bagaimana Guru dan orang tua dalam membimbing akhlak, pada sekolah di lingkungan sekolah
2) Untuk mengetahui bagaimana pentingnya
pembinaan akhlak terhadap sekolah di lingkungan sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SOPAN SANTUN
Sopan santun ialah suatu
tingkah laku yang amat populis dan nilai yang natural. Sopan santun sebagai
sebuah konsep nilai tetapi bukan dipahami. Sopan santun sebuah ideologi yang
memerlukan konseptualisasi. Itulah pengertian umum dari sopan santun. Menurut
saya pribadi sopan santun itu adalah sikap seseorang terhadap apa yang ia
lihat, ia rasakan, dan dalam situasi, kondisi apapun. Sikap santun yaitu baik,
hormat, tersenyum, dan taat kepada suatu peraturan. Sikap sopan santun yang
benar ialah lebih menonjolkan pribadi yang baik dan menghormati siapa saja.
Dari tutur bicara pun orang bisa melihat kesopanan kita. Baik/buruk, misalnya lagi
dalam situasi yang ramai dimana kita akan melewati jalan itu, jika kita sopan
pasti kita akan mengucapkan kata permisi pak, bu…..dalam berteman pun seperti
itu lebih menghargai pendapat teman walaupun pendapat itu berbeda, sebenarnya
pengertian sopan santun ini sudah umum. Dan mungkin semua orang sudah mengerti
apa itu sopan santun, karna sifat ini telah ditanamkan sejak kecil pada diri
individu tersebut. Dan bagaimana kita mengembangkannya saja. Dalam kehidupan
kita dan disekitar kita.
B. Perilaku
Orang-orang lewat di
depan orang yang sedang duduk, boro-boro bilang permisi tersenyumpun sepertinya
mahal. Hal ini adalah penyakit! Mari kita cari obatnya.
Padahal sopan santun itu jika digunakan akan mencegah banyak keributan, akan mencegah terjadi pertengkaran dan akan mempererat rasa persaudaraan.
Dulu di sekolah dan tempat mengaji atau diriungan, saya diajarkan oleh guru atau saudara. Kalau lewat di depan orang tua harus membungkuk dan bilang permisi. Pun seandainya kalau lewat di depan orang-orang yang sedang duduk atau kita ingin melewati suatu kumpulan maka kita harus bilang permisi.
Padahal sopan santun itu jika digunakan akan mencegah banyak keributan, akan mencegah terjadi pertengkaran dan akan mempererat rasa persaudaraan.
Dulu di sekolah dan tempat mengaji atau diriungan, saya diajarkan oleh guru atau saudara. Kalau lewat di depan orang tua harus membungkuk dan bilang permisi. Pun seandainya kalau lewat di depan orang-orang yang sedang duduk atau kita ingin melewati suatu kumpulan maka kita harus bilang permisi.
Namun sepertinya
sekarang pelajaran itu tidak ada lagi. Anak kemarin sore lewat di depan
kerumunan orang tidak ada sopan santunnya, lewat begitu saja bagai batang
pisang ada raganya namun dingin tidak ada jiwanya. Orang tua cuek dengan
keadaan itu karena mereka pun sudah mulai tidak perduli lagi dengan adat sopan
santun.
Oleh karena itu mari kita perbaiki budaya sopan santun ini, jika anda orang tua ajarkan kepada anaknya untuk berbuat sopan santun. Karena sopan santun itu tidak mahal, tidak mengeluarkan banyak biaya. Jika anda seorang kakak, ajarkan kepada adiknya untuk berbuat sopan santun karena pastinya anda sayang dengan adik anda. Tentunya jika anda guru, anda WAJIB mengajarkan kepada anak didik anda untuk mengajarkan sopan santun karena sekolah adalah gerbang dari watak seseorang.
Oleh karena itu mari kita perbaiki budaya sopan santun ini, jika anda orang tua ajarkan kepada anaknya untuk berbuat sopan santun. Karena sopan santun itu tidak mahal, tidak mengeluarkan banyak biaya. Jika anda seorang kakak, ajarkan kepada adiknya untuk berbuat sopan santun karena pastinya anda sayang dengan adik anda. Tentunya jika anda guru, anda WAJIB mengajarkan kepada anak didik anda untuk mengajarkan sopan santun karena sekolah adalah gerbang dari watak seseorang.
Jika anda membaca
tulisan ini, silahkan sebarkan kepada seluruh kenalan anda. Mari kita buat
negeri ini kembali sebagai negeri ramah. Negeri yang akan banyak mendapat
berkah karena keramahan. Kirimkan lewat email atau perbincangkanlah tulisan ini
diantara sesama teman.
Hingga saat ini, saya masih terkesan
dengan pemikiran-pemikiran (almarhum) Rama Mangunwijaya tentang dunia
pendidikan. Pandangan-pandangannya mencerahkan, inklusif, kritis,
dan selalu menyadarkan insan-insan pendidikan untuk mengembalikan dunia
persekolahan kepada “khittah”-nya sebagai pencerah spiritual. Dalam buku Pasca-Indonesisa,
Pasca-Einstein (1999), misalnya, Rama Mangunwijaya pernah bilang bahwa
dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif
dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan,
tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya –apalagi berpikir kritis-praktis–
adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill, dilatih, ditatar,
dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan
binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.
Suasana pembelajaran yang “salah urus”
semacam itu, demikian Rama Mangunwijaya yang semasa hidupnya akrab dengan
lingkungan pendidikan kumuh di bantaran Kali Code Yogyakarta, telah membikin
cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap
fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun/perompak/penggusur yang menghambat
kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran
dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu,
berbedak, dan bertopeng, seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural
bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian
antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.
Sikap-sikap fasis yang menafikan
keluhuran akal budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang
menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, tampaknya sudah menjadi fenomena yang
mewabah dalam masyarakat kita. Maraknya fenomena dan perilaku anomali semacam
itu, disadari atau tidak, merupakan imbas dari sistem pendidikan yang telah
gagal dalam membangun generasi yang utuh dan paripurna.
Pertama, selama menuntut ilmu
di bangku pendidikan, pelajar yang baik senantiasa dicitrakan sebagai “anak
mami” yang selalu mengamini semua komando gurunya. Mereka ditabukan untuk
bersikap kritis, berdebat, dan bercurah pikir. Akibatnya, mereka tampak begitu
santun di sekolah, tetapi menjadi liar dan bringas di luar tembok sekolah.
Kedua, anak-anak bangsa
yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan (hampir) tidak pernah
dididik secara serius dalam menumbuhkembangkan ranah emosional dan spiritualnya.
Ranah kecerdasan spiritual yang amat penting peranannya dalam melahirkan
generasi yang utuh dan paripurna justru dikebiri dan dimarginalkan. Kebijakan
dan kurikulum pendidikan kita belum memberikan ruang dan waktu yang cukup
berarti untuk memberikan pencerahan spiritual siswa. Yang lebih memprihatinkan,
guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang kaku, monoton,
dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang berkhotbah,
indoktrinasi, dan “membunuh” penalaran siswa yang dikukuhkan lewat dogma-dogma
dan mitos-mitos.
1. Pendidikan Harus Mamfu Memberikan Pencerahan
Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan pencerahan dan katarsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, mereka diharapkan dapat menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan.
1. Pendidikan Harus Mamfu Memberikan Pencerahan
Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan pencerahan dan katarsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, mereka diharapkan dapat menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan.
2. Mengembangkan
Pendidikan Anak bangsa
Di tengah situasi Indonesia yang masih
“silang-sengkarut” akibat krisis multiwajah dan konflik berkepanjangan, sudah
saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan
katarsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar-benar dimaknai secara
substansial sebagai “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa
menjadi generasi yang utuh dan paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas
emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang
selalu disanjung puji sebagai pengembang SDM, tetapi realitasnya hanya menjadi
sebuah “Indonesia” yang terpinggirkan.
3. model pendidikan
berbahasa santun di sekolah
Berikut ini walaupun hanya sebuah
abstrak dan kesimpulan makalah yang ditulis tentang fenomena berbahasa para
siswa di SMA N I LIMBANGAN, namun diharapkan ada manfaatnya bagi guru-guru,
tidak saja guru-guru bahasa tetapi juga guru-guru bidang
lainnya..
lainnya..
C. STRATEGI MODEL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERBASIS
AKHLAK BERBAHASA
SANTUN DI SEKOLAH
1. Mengembalikan Nilai Kesantunan
Tulisan dilatarbelakangi oleh adanya berbagai fenomena berbahasa di kalangan siswa yang telah menanggalkan nilai-nilai kesantunan berbahasa sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat. Atas dasar itu tulisan ini ingin menjawab strategi pendidikan yang bagaimana yang sesuai dengan pengembangan berbahasa santun di sekolah. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengungkapkan strategi pendidikan berbahasa santun di sekolah. Paradigma yang digunakan adalah naturalistik , pendekatan pendekatan kualitatif dengan menggunakan beragam metode (multi methods).
2. Perinsif-perinsif
Berbahasa Santun
Berdasarkan penelitian, terdapat siswa berbahasa santun dan tidak santun di sekolah, sekolah sementara belum memiliki strategi untuk mengembangkan pendidikan nilai berbahasa. Berdasar penelitian ditemukan enam prinsip berbahasa santun dalam Al Quran, yaitu qaulan sadiria, qaulan ma'rufa, qaulan baligha, qaulan maysura, qaulan karima, dan qaulan layyina. Dari enam prinsip tersebut ditemukan dua puluh enam nilai berbahasa santun yang dapat dijadikan rujukan dalam pendidikan berbahasa santun di sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Di samping itu diturunkan strategi-strategi (multi
strategi) dalam pengembangan berbahasa santun di sekolah. Strategi tersebut adalah
langkah-langkah operasional dalam pengelolaan pendidikan berbahasa santun di sekolah, dan pembelajaran berbahasa santun di kelas, menyangkut peran sekolah, guru, siswa,
dan karyawan sekolah yang dapat dijadikan altematif bagi pengembangan berbahasa santun di sekolah.
Berdasarkan penelitian, terdapat siswa berbahasa santun dan tidak santun di sekolah, sekolah sementara belum memiliki strategi untuk mengembangkan pendidikan nilai berbahasa. Berdasar penelitian ditemukan enam prinsip berbahasa santun dalam Al Quran, yaitu qaulan sadiria, qaulan ma'rufa, qaulan baligha, qaulan maysura, qaulan karima, dan qaulan layyina. Dari enam prinsip tersebut ditemukan dua puluh enam nilai berbahasa santun yang dapat dijadikan rujukan dalam pendidikan berbahasa santun di sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Di samping itu diturunkan strategi-strategi (multi
strategi) dalam pengembangan berbahasa santun di sekolah. Strategi tersebut adalah
langkah-langkah operasional dalam pengelolaan pendidikan berbahasa santun di sekolah, dan pembelajaran berbahasa santun di kelas, menyangkut peran sekolah, guru, siswa,
dan karyawan sekolah yang dapat dijadikan altematif bagi pengembangan berbahasa santun di sekolah.
D. Berbahasa Tepat
Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa
menunjukkan bangsa". Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati
diri bangsa tersebut? Apakah ia termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun,
damai, dan menyenangkan? Ataukah sebaliknya, ia termasuk bangsa yang senang
menebar bibit-bibit kebencian, menebar permusuhan, suka menyakiti, bersikap
arogan, dan suka menang sendiri.
Bahasa memang memiliki peran sentral
dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu
kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga
pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap paling strategis adalah
pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di
sekolah. Dalam KTSP, bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran
estetika. Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok agama
dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau
moral.
Kelompok mata pelajaran estetika sendiri
bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan
mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan
ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan
mesyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu
menciptakan kebersamaan yang harmonis.
Tujuan rumpun estetika tersebut
dijabarkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang bertujuan agar peserta
didiknya memiliki kemampuan antara lain (1) berkomunikasi secara efektif dan
efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis dan
(2) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial. Tujuan tersebut dilakukan dalam aspek
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Pelajaran bahasa Indonesia telah eksis
sejak dulu dari tingkat SD sampai PT. Di SD pelajaran ini mulai diberikan di
kelas IV-VI, alokasinya 5 jam per minggu atau 15,63% dari total alokasi jam
pembelajaran, SMP 4 jam atau 12,5%, di SMA kelas XI 4 jam atau 10,53%, kelas XI
dan XII 4 jam atau 7,69%. Alokasi itu diperkuat lagi dengan pelajaran bahasa
Sunda sebanyak 2 jam setiap minggunya. Di PT, bahasa Indonesia termasuk dalam
MKDU, minimal 2 SKS. Ini menunjukkan bahwa kedudukannya dalam kurikulum
pendidikan formal begitu utama dan strategis.
Ironisnya, eksistensi dan besarnya
alokasi jam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah saat ini belum memberikan
kontribusi dan korelasi yang berarti terhadap tumbuhnya kesadaran penggunaan
bahasa secara verbal yang lemah lembut, santun, sopan, sistematis, teratur,
mudah dipahami, dan lugas. Pelajaran tersebut harus diakui belum mampu
membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mungkin
salah satunya disebabkan pembelajarannya masih bersifat kurang komunikatif,
dikotomis, artifisial, verbalistis, dan kognitif.
Kegagalan menanamkan pendidikan nilai
melalui pembelajaran bahasa Indonesia ini tercermin pada perilaku berbahasa
yang tidak mengindahkan nilai-nilai sopan santun. Kegagalan ini sedikit banyak
telah memberi andil pada terjadinya tindak kekerasaan di masyarakat,
perseteruan di tingkat elite, dan ikut memengaruhi terjadinya pelecehan
terhadap nilai-nilai luhur yang dihormati bersama.
Menurut pakar bahasa, I. Pratama Baryadi
dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, terdapat korelasi antara bahasa
sebagai lambang yang memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi antarmanusia
dengan kekerasan yang merupakan perilaku manusia yang hegemonik-destruktif.
Dua korelasi itu, pertama, bahwa bahasa
dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan kekerasan sehingga menimbulkan
salah satu jenis kekerasan yang disebut kekerasan verbal. Wujudnya terlihat
dalam tindak tutur seperti memaki, membentuk, mengancam, menjelek-jelekkan,
mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasikan, mengintimidasi,
menakut-nakuti, memaksa, menghasut, membuat orang malu, menghina, dan lain
sebagainya.
Kedua, bahasa yang tidak digunakan
sesuai dengan fungsinya akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Fungsi hakiki
bahasa adalah alat komunikasi, alat bekerja sama, dan pewujud nilai-nilai
persatuan bagi para pemakainya. Dalam teori percakapan, ada dua prinsip
penggunaan bahasa yang wajar-alamiah, yaitu prinsip kerja sama dan prinsip
kesopanan.
Prinsip kerja sama menganjurkan agar
komunikasi verbal dilakukan dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan
relevan dengan konteksnya. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi
verbal dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati,
rendah hati, cocok, dan simpatik.
Sejalan dengan itu, dalam ajaran Islam
ada yang disebut dengan dosa lisan. Dalam Q.S. Al Qalam [68]: 10-11), "Dan
janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi menghina. Yang
banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah". Larangan itu
dipertegas lagi oleh dua hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Hadis pertama berbunyi, "Orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat,
hendaknya berkata baik. Atau, (jika tidak bisa) lebih baik diam". Bunyi
hadis kedua, "Orang yang disebut Muslim adalah orang yang bisa menjaga
tangannya dan lisannya (dari menyakiti Muslim lain)". Begitulah ajaran
agama mengatur etika dan anjuran berbahasa dengan baik dalam lehidupan.
Anjuran tersebut juga relevan dengan
pepatah lama yang menyebutkan lidah atau lisan bagaikan pedang. Jika lisan
telah mengibaskan ketajaman mata pedangnya di hati, rasa sakit dan lukanya akan
berbekas untuk waktu yang lama. Penyimpangan (deviasi) prinsip-prinsip tersebut
dapatlah memicu timbulnya kekerasan. Sebagai contoh, berbicara kasar, berbicara
saja tanpa tindakan, berbicara bohong, berbicara dengan keras, tidak jelas,
menyakitkan, menyinggung perasaan, merendahkan orang lain, dan tidak transparan.
Dalam praktik sehari-hari, perilaku
berbahasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai dan hakikat fungsi bahasa seperti
itu semakin banyak ditemukan di masyarakat kita saat ini. Perilaku yang tidak
terpuji ini ironisnya banyak dilakukan di alam reformasi. Apakah ini merupakan
cerminan dari euforia demokrasi yang kebablasan. Entah apa. Perilaku berbahasa
yang buruk itu dilakukan oleh semua lapisan: golongan bawah, golongan menengah,
bahkan elite politik negeri ini. Sindir-menyindir, saling menghujat, provokasi,
dan saling mengancam tidak asing terdengar keluar dari mulut para pemimpin.
"Mulutmu harimaumu", itu kata
pepatah yang masih tetap relevan. Akibat dari penggunaan bahasa yang tidak
terpuji itu kini masyarakat dan elite politik mudah sekali bermusuhan,
melakukan tindak anarkis, merusak, dan lain sebagainya.Pendek kata, negeri ini
sangat rentan dan rawan dengan konflik-konflik, friksi-friksi, perkelahian,
pembunuhan, dan perusakan yang tak berkesudahan.
Dalam rangka reformasi pendidikan,
selayaknyalah dipikirkan juga bagaimana sekolah dapat berperan agar anak didik
khususnya, dan masyarakat pada umumnya tidak berbahasa untuk melakukan tindakan
kekerasan dan tidak memicu kekerasan. Hendaknya anak didik
berbahasa Indonesia yang sopan dan beradab, yang berfungsi memelihara
serta membangun kerja sama kerukunan.
Beberapa hal yang dapat dipikirkan yaitu
pertama, sekolah hendaknya memberi penghargaan yang wajar pada bahasa dan
budaya. Kedua, pelajaran bahasa menggunakan pendekatan komunikatif tetap
menekankan perlunya kesopanan berbahasa. Ketiga, semua warga sekolah
dikondisikan dan disiplinkan untuk berbahasa dengan sopan.
Tentang berhasa yang sopan ini, sangat
selaras dengan sabda Rasul yang mulia, "Tidaklah seharusnya orang menyuruh
yang makruf da mencegah yang mungkar, kecuali memiliki tiga sifat, yakni lemah
lembut dalam menyuruh dan melarang (mencegah), mengerti apa yang harus
dilarang, dan adil terhadap apa yang harus dilarang".
Berdemonstrasi menyampaikan tuntutan dan
aspirasinya adalah hak setiap orang yang mesti diperjuangkan. Namun penyampaian
itu hendaknya disampaikan secara beretika. Aksi-aksi jangan seakan membenarkan
atau melegalkan kata-kata sekasar apa pun dilontarkan di depan publik. Stoplah
sudah kata-kata yang mengumbar bibit-bibit kebencian, membakar amarah,
memancing emosi, mendorong anarkisme, dan menebar provokasi. Hentikan kata-kata
yang hanya memancing kericuhan dan bentrokan fisik dengan aparat atau pihak
lain. Demikian juga dengan para pemimpin bangsa, hendaknya menjunjung etika
berbahasa. Perilaku berbahasa pemimpin bangsa dan elite politik yang kerap
menimbulkan perseteruan telah berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat di
level akar rumput. Semua itu hanya menghabiskan energi dan membuat rakyat
semakin menderita.
Momentum Idulfitri yang melambangkan
kesucian hati dan peringatan Bulan Bahasa yang dilakukan tiap bulan Oktober ini
seyogianya dapat menggugah kesadaran berbahasa dengan sopan dan santun. Bagi
dunia pendidikan, pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa
lainnya diharapkan mampu menginternalisaikan dan mengartikulasikan nilai-nilai
etika berbahasa dalam perilaku verbal kita sehari-hari. Pusat Bahasa yang
berotoritas membina dan mengembangkan bahasa hendaknya lebih berperan nyata
lagi dalam mendorong masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang santun.
Lembaga ini jangan hanya berkutat pada riset-riset dan pembakuan bahasa yang
hanya menjadi "menara gading" bagi masyarakatnya.
Karena bahasa mencerminkan pencitraan
pribadi, jati diri bangsa, dan keselamatan hidupnya, sejatinya pemimpin bangsa,
elite politik, masyarakat, dan setiap diri berupaya menggunakan bahasa dengan
sopan, santun, dan beradab. Wallahu a'lam.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Guru dan Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak, karena merekalah anak mula-mula menerima pendidikan-pendidikan serta anak mampu menghayati suasana kehidupan religius dalam kehidupan keluarga yang akan berpengaruh dalam perilakunya sehari-hari yang merupakan hasil dari bimbingan orang tuanya, agar menjadi anak yang berakhlak mulia, budi pekerti yang luhur yang berguna bagi dirinya demi masa depan keluarga agama, bangsa dan negara.
B. Saran
Hendaklah Guru dan orang tua selalu memberikan perhatian yang jenuh kepada anak-anak dalam membina akhlak bukan hanya menyuruh anak agar melakukan perbuatan yang baik tetapi hendaklah Guru dan orang tua selalu memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya
Serta Guru dan orang tua tampil selalu tauladan baik, membiasakan berbagai bacaan dan menanamkan kebiasaan memerintah melakukan kegiatan yang baik, menghukum anak apabila bersalah, memuji apabila berbuat baik, menciptakan suasana yang hangat yang religius (membaca Al-Qur'an, sholat berjamaah, memasang kaligrafi, Do'a-Do'a dan ayat-ayat Al-Qur'an), menghapal, menumbuhkan gairah bertanya dan berdialog.
Guru dan Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak, karena merekalah anak mula-mula menerima pendidikan-pendidikan serta anak mampu menghayati suasana kehidupan religius dalam kehidupan keluarga yang akan berpengaruh dalam perilakunya sehari-hari yang merupakan hasil dari bimbingan orang tuanya, agar menjadi anak yang berakhlak mulia, budi pekerti yang luhur yang berguna bagi dirinya demi masa depan keluarga agama, bangsa dan negara.
B. Saran
Hendaklah Guru dan orang tua selalu memberikan perhatian yang jenuh kepada anak-anak dalam membina akhlak bukan hanya menyuruh anak agar melakukan perbuatan yang baik tetapi hendaklah Guru dan orang tua selalu memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya
Serta Guru dan orang tua tampil selalu tauladan baik, membiasakan berbagai bacaan dan menanamkan kebiasaan memerintah melakukan kegiatan yang baik, menghukum anak apabila bersalah, memuji apabila berbuat baik, menciptakan suasana yang hangat yang religius (membaca Al-Qur'an, sholat berjamaah, memasang kaligrafi, Do'a-Do'a dan ayat-ayat Al-Qur'an), menghapal, menumbuhkan gairah bertanya dan berdialog.
DAFTAR PUSTAKA
(Muhammad Nur, Abdul Hafizh 1988:9):
Alb V Dian Sano, 2005. 24 jam menguasai HTML, JSP, dan MySQL
Yogyakarta :
Penerbit Andi
Ali Akbar, ST. 2005. Membuatpresentasidengan PowerPoint
2003Bandung :
M2S
Andi Setiawan, S.Kom, 2006. Mudah Tepat Singkat Pemrograman HTML
Bandung : CV. Yrama Widya
Erislan. 2005. Notifikasi e-mail melalui SMS
Yogyakarta : Penerbit Andi
Firrar Utdirartatmo. 2005. Praktis dan Mudah Administrasi MySQL
berbasis GUI
Yogyakarta : Penerbit Andi
http://
visitbanyumas.com/bahasa/archives/238
No comments:
Post a Comment